Pages

  • Twitter
  • Facebook
  • Google+
  • RSS Feed

Tuesday, April 23, 2013

oke mari tukeran banner atau backlink disini :)
simpel aja... lo atau gue dulu yg pasang link.
tapi gue jarang online sih jadi gpp kan lo duluan yg pasang :p




Titipan Temen

Sunday, April 21, 2013




Oleh : DR. Adian Husaini


Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS -Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh.

VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:

”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam.

Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.

[Depok, 20 April 2009/www.hidayatullah.com]

baca juga tulisan dari Ustadz Epi Taufik yang di publish di blog Ustadz Felix Siauw : http://felixsiauw.com/home/habis-gelap-terbitlah-terang/

Tuesday, April 16, 2013




Islam Liberal adalah kemasan baru dari kelompok lama yang orang-orangnya dikenal nyeleneh. Kelompok nyeleneh itu setelah berhasil memposisikan orang-orangnya dalam jajaran yang mereka sebut pembaharu atau modernis, kemudian melangkah lagi dengan kemasan barunya, Islam liberal.
Salah satu dari sekian banyak kelompok liberal di Indonesia ada yang menamakan diri JIL –Jaringan Islam Liberal.
Sebagai gambaran betapa banyaknya lembaga Islam liberal, ada 44 lembaga yang pernah didanai lembaga kafir Amerika, TAF -The Asia Foundation. (Lihat buku Hartono Ahmad Jaiz,Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Darul Falah, Jakarta, 2004). Kemudian di antara pentolan-pentolannya ada yang menghalalkan homosex seperti Musdah Mulia, dan membela aliran sesat Ahmadiyah seperti Azyumardi Azra, namun justru mereka ini kemudian dimasukkan dalam buku 500 Tokoh Islam yang Berpengaruh di Dunia, terbitan Amman Yordan. (Lihat http://nahimunkar.com/18626/buku-500-muslim-berpengaruh-di-dunia-dari-penghalal-homosex-sampai-pentolan-aliran-sesat/).
Kalau boleh diibaratkan secara gampangnya, lembaga-lembaga liberal seperti JIL, Paramadina dan semacamnya itu adalah semacam pedagang kaki lima atau kios-kios kecil yang jualan Islam liberal. Sedang perguruan tinggi Islam negeri se-Indonesia di bawah Depag, kini Kemenag (Kementerian Agama) itu telah difungsikan ibarat toko-toko resmi untuk jualan Islam liberal alias pemurtadan. Itu setelah mereka “kulakan faham kekafiran” dengan cara intensif menyekolahkan dosen-dosen IAIN se-Indonesia ke perguruan tinggi kafir di negeri-negeri Barat, Amerika, Eropa, Australia dan sebagainya. Mereka belajar atas nama studi Islam tapi ke negeri-negeri kafir.
Kemudian hasil “kulakan faham kekafiran” itu dijual di toko-toko resmi yang ujudnya IAIN, UIN, STAIN dan semacamnya yakni perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Karena jualannya sudah berganti dengan “faham kekafiran hasil kulakan dari negeri-negeri kafir”, maka untuk memuluskannya, diubahlah kurikulum IAIN se-Indonesia oleh Harun Nasution, dari kulrikulum Ahlus Sunnah diganti jadi kurikulum Mu’tazilah (aliran sesat) yang dia sebut rasionalis. Itu untuk mengubah dari metode memahami Islam pakai metode yang sehrusnya yakni ilmu Islam itu sendiri, diganti dengan memahami Islam pakai sosiologi agama ala Barat, yang memandang agama hanya sekadar fenomena social.
Memang Harun Nasution kulakan sosiologi ala Barat itu dari Universitas Amerika di Kairo lulus BA jurusan Sosiologi tahun 1952. Kemudian kulakan ilmu lainnya dari negeri kafir pula di McGill University di Kanada. (Dia bisa ke sana karena dimasukkan oleh Prof HM Rasjidi, namun belakangan beliau sangat menyesali setelah kelakuan Harun Nasution bukan membela Islam tetapi malah sebaliknya itu).
Ada dua jalur yang ditempuh. Jalur pertama, Depag (kini Kemenag) mengirimkan secara besar-besaran dosen-dosen IAIN se-Indonesia untuk “kulakan faham kekafiran atas nama studi Islam” ke negeri-negeri kafir di Barat sejak 1975, dan paling intensip zaman Menteri Agama Munawir Sjadzali dua periode 1983-1992). Jalur kedua, Harun Nasution (ditugasi?) mengubah kurikulum dari Ahlus Sunnah diubah jadi Mu’tazilah (aliran sesat). Sehingga para dosen yang sudah pulang dari “kulakan faham kekafiran dari Barat” itu tinggal jualan “faham kekafirannya” ke seluruh perguruan tinggi Islam se-Indonesia di mana mereka bertugas kembali. Hingga timbul pendapat yang aneh-aneh. Misalnya, kata Nurcholish Madjid: Iblis kelak masuk surga dan surganya tertinggi, karena tidak mau sujud kepada Adam.
Astaghfirullah… Iblis itu jelas Allah katakan membangkang dan sombong, dan dia termasuk orang-orang yang kafir. Mana ada orang kafir masuk surga?!
Juga pendapat Atho’ Muzhar, bahwa masjidil Aqsha yang di dalam Al-Qur’an Surat Al-Israa’ itu bukan di Baitul Maqdis Palestina tetapi di baitul makmur di langit.
Pendapat itu saya (Hartono Ahmad Jaiz) kemukakan kepada Syaikh Rajab tahun 1993 dalam Konferensi Mujamma’ Fiqh Islam di Brunei Darussalam yang didampingi Syaikh Khayyath mantan Menteri Agama Yordan. Maka Syaikh Rajab terheran-heran dan berkata: “Saya kan imam Masjidil Aqsha di Palestina.”
Demikianlah di antara kesesatan mereka. Namun atas rekayasa Depag dan Harun Nasution (dulu Rektor IAIN Jakarta) itu maka mulus lah penjajaan pluralisme agama alias kemusyrikan baru di perguruan tinggi Islam se-Indonesia.  Maka tidak mengherankan, kemudian muncul reaksi, di antaranya ada buku yang menyoroti tajam pemurtadan secara lembaga resmi itu yakni tulisan Hartono Ahmad Jaiz dengan judul Ada Pemurtadan di IAIN terbit tahun 2005, maksudnya ya perguruan tinggi Islam seluruh Indonesia. Juga buku Adian Husaini, berjudul Hegemoni… Bahkan kini Kemenag disinyalir sudah aktif memurtadkan lewat jalur tingkat sekolah SD, SMP dan SMA dengan memasukkan pendidikan multikulturalisme (bahayanya sama dengan pluralisme agama atau Islam liberal) pada PAI (Pendidikan Agama Islam). Yang cukup mencenangkan, pihak Kementerian Agama (Kemenag) sendiri justru sudah menerbitkan buku mengenai multikulturalisme ini. Salah satu judul buku Kemenag ini adalah “Panduan Integrasi Nilai Multikultur Dalam Pendidikan Agama Islam Pada SMA dan SMK.” http://nahimunkar.com/17291/multikulturalisme-sama-bahayanya-dengan-pluralisme/

Jadi jangan sampai Ummat Islam kini menganggap bahwa pemurtadan yang dilancarkan Islam liberal sudah sepi. Bukan sepi, tetapi justru sudah masuk secara intensip lewat jalur-jalur resmi yakni perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Di samping itu Kemenag juga mengirimkan misionaris-misionaris yang bermuatan sesatnya dan bekerjasama dengan lembaga lainnya. Seperti yang baru-baru ini diterjunkan, 30 Dai “Rahmatan” Kemenag dinilai mengusung faham bahaya: pluralisme agama http://nahimunkar.com/18387/30-dai-rahmatan-kemenag-dinilai-menguasung-faham-bahaya-pluralisme-agama/


Oleh :  Hartono Ahmad Jaiz 

Sunday, April 7, 2013





Beberapa bulan yang lalu saya pernah menyatakan sikap tentang dukungan saya untuk gerakan #IndonesiaTanpaJIL. Gerakan yang berawal dari twitter ini kini berusia 1 tahun. 
Saya sering ditanyai oleh beberapa rekan yang masih asing dengan istilah "JIL". Apa sih JIL itu? Mereka menamai diri mereka sebagai Jaringan Islam Liberal. Islam, tapi liberal. 

Sederhananya, saya mendefinisikan JIL sebagai segerombol orang-orang yang mengaku Islam, tapi malah menghina dan merusak Islam dari dalam. Jeleknya, yang pertama, mereka membawa-bawa nama Islam. Dalam buku Islam Liberal 101 yang ditulis oleh Akmal Sjafril, penggunaan "Islam" dalam JIL ini semata karena mereka sendiri tak pede kalo tak membawa-bawa Islam. Singkatnya, bagaimana mau 'mengajak' orang-orang kalo yang ngajak bukan pemeluk Islam. Begitu. lengkapnya baca di Mengenal Gerakan #IndonesiaTanpaJIL 

Kedua, selain membawa-bawa Islam, sehingga kami *para pemeluk Islam, bukan pemeluk Islam liberal* menjadi gerah, orang-orang JIL serta yang menganut paham SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme agama) ini mengajak dan menyebarkan kesesatan mereka. Berbahaya bagi generasi penerus! That's why, if you tolerate this, your children will be next!

Ingin lihat bukti nyelenhnya pemikiran mereka? Berikut saya tampilkan beberapa tweet mereka, yang dikomplilasi oleh Akmal Sjafril.

1. It's all about money



Ceritanya ini waktu Hard Rock FM mengundang pihak #IndonesiaTanpaJIL dan pihak JIL untuk diskusi di program radio, yang datang hanya mas Akmal. Orang JIL diundang, 1 pun tak ada yang datang. Ngelesnya, ya itu. Yang honor lah, yang waktu lah, ckckck. Rekaman siarannya bisa diunduh di 4shared. Gapapa yah ga ada orang JILnya ihihihi.

2. Hilangnya empati


bukan saatnya bercanda kalo ada sodara kita yg lagi susah !!

3. Mulut kotor


jangan tanya kenapa, ini karna dia emosi karna gerakan sesat mereka mulai di tentang banyak orang :P

4. Ngakunya berani debat, tapi...


INI BOHONG !! kapan pernah diskusi ulil cs dengan salah satu dari kami #IndonesiaTanpaJIL

5. Mendukung homoseks


Hiii, na'udzubillahi min dzaliik.. Orang tua macam apa yang biarin anaknya jadi gay atau lesbian atau sesat karna ajaran ahmadiyah

6. Musuh semua agama


SARA !! 

7. Blunder


Ini ceritanya, itu orang berdua lagi pada ngomongin tentang kisah Ashabul Kahfi dalam QS Kahfi. Firman Allah, dianggap dongeng. Persis banget ya tabiat mereka dengan yang dijabarkan dalam QS Al Anfal ayat 31.  Maha benar Allah, dengan segala FirmanNya.

8. Mesum


Jelas dan terpampang nyata nyelenehnya.

9. Anti Agama


Tuh, apa jadinya orang-orang kayak begini kalo jadi pemimpin. Hororrr.

10. Maksudnya?


Indonesia di akui merdeka pertama kali itu ya oleh palestina !! wajar kalo bangsa kita empati !!

11. Senang 'mengoplos'


Semakin terpampang nyata sesatnya

12. Mendukung kehadiran 'nabi-nabi' baru


siapa yg mau jadi nabi baru? hehe

13. Anti jilbab dan suka dengan kekerasan verbal


kalo gue bilang sih ini gak liberal :p liberal = bebas . yah bebas dong muslimah pake jilbab atau hijab dimana aja dan kapan aja? :))

14.  Melecehkan keimanan


Kalo kata Syaikh @Yukosiswanto, statement ini udah masuk dalam kategori kufur. Hakikatnya, justru orang miskin adalah orang yang tak punya iman dalam dadanya.

15. Mendukung penyakit moral masyarakat


setuju? ini bukan AMERIKA ini bukan ARAB tapi ini INDONESIA yang BERADAB !!


16. Devide et Impera.


makin ketahuan misionaris dari JIL :))

17. Jarang Baca Berita dan menebar fitnah


coba kalian browsing tentang rohingnya atau suriah :)
jelas sekali ulil ini jarang baca berita internasional dan suka lempar fitnah atau tuduhan yg tak beralasan :p

Dan maaasih banyak lagi kenyelenehan lain yang bisa teman-teman baca sendiri dari kumpulan twit yang hari ini dibuat kang Akmal.

Jangan buru-buru menganggap apa yang mereka tuliskan di twitter ini adalah hal kecil. Justru, kini usia JIL sudah 12 tahun, pemikirannya terkait liberalisme agama telah menyebar kemana-mana, padahal MUI sudah memfatwakan bahwa pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama itu SESAT.

Dan bedakan antara pluralitas dengan pluralisme ya teman-teman. Pluralisme itu menganggap bahwa semua agama sama, sedangkan pluralitas menghargai dan menghormati perbedaan agama yang kita anut, sesuai kepercayaan kita masing-masing. Kalo dalam Islam, ini namanya tasamuh, lebih keren dari toleransi :)

And for this, I still stand still support #IndonesiaTanpaJIL! Yeaaaah..

dikutip dari Pejuang #IndonesiaTanpaJIL : diniezh blog
 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff