Pages

  • Twitter
  • Facebook
  • Google+
  • RSS Feed

Saturday, June 16, 2012

Doktrin BODOH Tentang HAJI dari JIL

No comments:
 

Berangkat dari keinginan menyempurnakan suatu ajaran dogmatis, umat Islam berlomba lomba agar ia dapat menjalankan rukun Islam yang terakhir yaitu Haji. Berbagai cara dilakukan untuk dapat menyandang gelar “Muslim Kamil” karena telah sempurna menjalankan semua rukun yang menjadi tolak ukur mayoritas umat Islam, khususnya di Indonesia. Hal ini merupakan suatu keniscayaan bagi umat Islam (khususnya di Indonesia) mengingat konteks haji dalam masyarakat kita bukan lagi sekedar riitualisasi keagamaan, tetapi sudah menjadi trend bagi sebagian kalangan untuk menjadikan haji sebagai penunjang kelancaran aktifitasnya. Contoh saja pencalonan gubernur, walikota, bupati ataupun pemimpin-pemimpin yang lainnya kurang perfect sepertinya jika tidak berembel-embelkan “H” pada awal namanya, kurangnya self confident jika baleho kampanye yang menampakkan gambar wajah dan namanya belum bergelar “Haji”. Mungkinkah makna ritual ibadah haji pada masa ini mengalami alterasi negatif seiring dengan mudahnya akses menuju Makkah? Ataukah mereka memang belum dapat memaknai simbol-simbol dibalik ritualisasi ibadah haji?

Haji secara tekstual disyariatkan oleh Allah
kepada seluruh umat Islam yang “mampu” menjalankannya, sekali lagi yang “mampu” menjalankannya. Apakah mampu disini hanya sekedar materi? Tidak, tetapi juga harus mampu secara fisik. Apakah hanya mampu secara materi dan fisik? Tidak, ada sesuatu lagi yang lebih urgen yaitu menyelami makna ruh dari ritualisasi ibadah haji itu sendiri, hingga mampu diaplikasikan dalam kehidupan dan membawa perubahan sosial kearah yang lebih baik.

Mayoritas warga Indonesia saat ini hanya bersifat individualistik dalam melaksanakan haji, yang penting saya mampu berangkat haji dengan melalui tata tertib yang ada, sudah barang tentu saya dijamin oleh Allah sebagaimana hadits nabi “Al-hajju l-mabruru laysa lahu jaza’un illa l-jannata”, imbalan bagi haji yang mabrur tidak lain adalah surga. Lalu setelah kepulangan para Jama’ah haji, yang dibawa hanyalah buah tangan materi tanpa ada upaya untuk mengaplikasikan dalam kehidupan nyata. Seharusnya ibadah seperti inilah yang dihujat lebih keras, dan sama rancunya dengan kunjungan dewan ke luar negri dalam upaya perumusan RUU kemiskinan. Bahkan mungkin lebih buruk lagi.

Ritualisasi dalam ibadah haji telah dilakukan oleh bangsa Arab jauh sebelum Rasulullah lahir, tetapi dengan tata cara dan nilai-nilai yang berbeda tentunya. Ibadah haji setelah kenabian Muhammad telah dirubah filsafat dan nilai-nilainya dengan penambahan makna atau ruh yang terkandung dalam ritual tersebut, juga dengan mereduksi ritual-ritual yang tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Oleh karena itu seharusnya para jama’ah haji memahami makna simbolik dibalik ritual ibadah haji. Misalnya bermalam di Mina dan wukuf merupakan suatu ibadah yang mengingatkan kita akan kesetaraan dan keadilan ummat manusia, ummat Islam ketika itu memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah dan memiliki kesempatan yang sama pula untuk dikabulkannya do’a oleh sang pemilik pencipta semesta tanpa memandang rasis ataupun jabatan. Tata tertib dan aturan ibadah haji (seperti tidak diperkenankan membunuh hewan, larangan bersetubuh dll) menjadi simbol ajaran moral dan tanggung jawab individu seorang muslim.

Nah ajaran tentang nilai universal Islam inilah (keadilan, kesetaraan, moralitas, tanggung jawab individu) yang melandaskan ritual ibadah haji secara simbolik. Sayangnya, ruh dari ritual simbolik itu tadi kurang diserapi oleh sebagian jama’ah haji. Pada masa ini banyak yang berhaji, tetapi banyak pula dari mereka yang berhaji membiarkan tetangganya dalam keadaan lapar yang sangat karena keterbatasan materi, mana nilai keadilan dan kesetaraan dari ibadah haji yang dilakukannya? Banyak yang thawaaf di Ka’bah, tetapi hanya untuk popularitas nama tanpa membawa upaya-upaya perubahan sosial yang lebih positif, mana bentuk nilai tanggung jawab dari ibadah haji yang mereka lakukan? Banyak yang berdoa dengan khusyuk ketika wukuf di Arafah, tetapi khusyuk pula menggunjing sana-sini, dimana bentuk nilai moralitas dari ibadah haji yang dilakukannya?

Ibadah haji telah mengalami pergeseran makna bagi masyarakat Indonesia pada saat ini. Cobalah kita menengok sedikit kepada tokoh-tokoh terdahulu, HOS Tjokroaminoto, KH.Ahmad Dahlan, KH.Hasyim Asy’ari dan lainnya, yang setelah kepulangan mereka dari tanah kelahiran Islam tersebut melakukan gebrakan sosial dengan upaya membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih positif. Ka’bah, Makkah dan Madinah dapat menjadi objek inspiratif untuk memperbaiki masyarakat, bukan dijadikan sekedar objek intuitif untuk berlatih mengucurkan air mata. Sebagian mereka menangis di depan Ka’bah, tetapi di sini mereka membiarkan kaum minoritas tertindas menangis dengan sumpah serapah. Sebagian mereka berdo’a banyak ketika wukuf di Arafah, tetapi disini mereka mengumpulkan harta dengan serakah.

Ibadah haji seperti ini hanya menghambur-hamburkan harta dan memperkaya Negara yang sudah kaya. Mengapa harus menghujat beberapa aliran yang tidak mewajibkan berhaji ke Makkah, sementara yang mampu beribadah sungguhan ke Makkah tidak lebih baik dari mereka. Ritual dalam ibadah haji seharusnya adalah ibadah sosial, tetapi jika haji telah mengalami alterasi seperti ini, maka haji hanya sekedar ritual materialistik bagi kaum materialis. Semoga Allah menjauhkan kita dari haji yang semacam ini.

Sumber

No comments:

Post a Comment

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff